Yang membuat saya keberatan, saya diminta balik nama padahal kendaraan itu masih atas nama saya. Akhirnya, saya diarahkan untuk menanyakan langsung ke bagian penerbitan BPKB di Kantor Satlantas Polres Blora.
Sebelum keluar dari Samsat, saya sempat mencetak STNK. Sehari sebelumnya, saya sudah membayar pajak kendaraan via aplikasi Sakpole. Sebenarnya saya sudah memiliki e-pengesahan STNK dalam bentuk PDF, tapi karena printer di rumah rusak dan kebetulan sedang di kantor Samsat, sekalian saya cetak. Sekilas info, kini pembayaran pajak kendaraan di wilayah Jawa Tengah bisa lewat aplikasi Sakpole yang tersedia di Play Store, sangat praktis tanpa perlu antre.
Dari Samsat, saya melanjutkan ke Kantor Satlantas Polres Blora di Jalan Pemuda. Dalam perjalanan, saya juga menyempatkan mampir ke Bank BNI untuk mengganti buku tabungan yang rusak karena rayap—bersamaan dengan BPKB yang rusak. Namun, itu tak perlu dibahas panjang karena setelahnya saya juga sempat tambal ban motor yang bocor.
Setibanya di Satlantas, bagian penerbitan BPKB memberikan dua pilihan yang serupa dengan yang disampaikan petugas di Samsat. Jika melakukan balik nama, BPKB bisa terbit dalam waktu sekitar tiga bulan. Namun jika tetap atas nama saya, prosesnya bisa memakan waktu dua hingga lima tahun dengan syarat yang cukup rumit.
Saya tak sempat membaca semua syaratnya. Tapi baru di poin pertama saja saya sudah tidak setuju: harus ada surat kehilangan dari kepolisian. Padahal, saya masih memegang fisik BPKB meski kondisinya rusak dimakan rayap.
Kalaupun semua syarat berhasil dipenuhi, tetap saja jadinya butuh waktu dua sampai lima tahun. Waktu yang menurut saya tidak masuk akal. Mengapa berkas harus muter begitu lama? Bagaimana jika saya ingin menjual motor dalam waktu dekat? Ribetnya bukan main. Akhirnya, saya urung mengurus BPKB dan pulang dengan tangan kosong.
Melalui tulisan ini, saya berharap ada perhatian dari pejabat pemerintahan atau kepolisian. Persyaratan penerbitan dokumen seharusnya disesuaikan dengan kondisi di lapangan dan waktu penyelesaian dibuat lebih efisien. Di Jakarta, contohnya, ada kebijakan khusus bagi warga korban banjir yang kehilangan atau mengalami kerusakan STNK dan BPKB. Aturannya lebih realistis dan syaratnya berbeda.
Sungguh terlalu
BalasHapusPadahal Presiden sudah menegaskan untuk memangkas birokrasi yang berbelit2, tapi kenyataan di lapangan belum ada tindakan.
BalasHapusSing penting teori. :D
BalasHapusNgurusi wong sak negoro yo angel. Jangankan 1 Negara, ngurusi satu RT saja yang satu ngalor sing siji ngidul. :D
Kakehan teori terus sampai bosen. :D
BalasHapus