Sabtu, 19 Juli 2025

Radio Jamu Menguasai Frekuensi, Balmon ke Mana?

 Sabtu, 19 Juli 2025
Di zaman serba online saat ini, keberadaan radio sudah hampir diabaikan oleh para pendengarnya. Banyak orang-orang yang sudah berganti media hiburan dengan menggunakan smartphone. Mau lihat apa saja, sudah tersedia di gawai kecil ini — dari musik hingga podcast, dari video pendek hingga siaran langsung. Radio perlahan tersingkir, seolah hanya menjadi peninggalan masa lalu.

Namun bagi saya, radio masih punya tempat tersendiri. Ada nuansa yang sulit ditemukan di tengah derasnya hiburan digital: keintiman suara penyiar, sapaan ramah di pagi hari, hingga jeda hening yang seolah memberi ruang bagi pendengar untuk bernapas. Saya masih menikmati ketika secara tak sengaja menemukan siaran yang membahas hal-hal ringan di tengah malam, atau mendengar lagu lawas yang tiba-tiba membangkitkan kenangan masa lalu.

Saya sendiri masih sering mendengarkan beberapa radio favorit dari Semarang seperti Gajahmada FM, Imelda FM, RRI Pro 1 Semarang dan beberapa stasiun lokal lainnya lewat layanan streaming. Selain itu, saya juga kerap menyimak Elgangga FM Bekasi dan KPFM Balikpapan — dua radio yang menyimpan kenangan karena saya pernah tinggal di kota-kota tersebut. Meski tidak setiap hari, saya suka memutar siaran mereka saat sedang ingin bernostalgia — mendengar logat khas penyiarnya, lagu-lagu era 90–2000-an, atau sekadar merasakan suasana khas radio lokal yang dulu begitu akrab di telinga.

Salah satu acara yang paling membekas bagi saya adalah “Gita Malam” dari Gajahmada FM. Program yang mengudara di malam hari ini menjadi teman setia saya semasa kuliah di era 2005–2008, menemani saat mengerjakan tugas-tugas hingga larut malam. Suara penyiar yang tenang dan pilihan lagu yang mendayu membuat malam terasa lebih hidup — dan lebih akrab.

Yang membuat radio begitu menyenangkan adalah adanya interaksi antara penyiar dan pendengar. Sapaan hangat, permintaan lagu, kiriman salam, atau bahkan obrolan ringan lewat telepon atau pesan teks menciptakan suasana yang hidup dan terasa personal. Ini yang membedakan radio dari sekadar memutar lagu digital.

Merakit radio tuner
Saya merakit radio tuner FM dengan trafo 3A
 
Sayangnya, peta radio saat ini — terutama di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur — tidak lagi seindah dulu. Banyak frekuensi kini dikuasai oleh radio jamu — stasiun radio yang hanya memutar musik, diselingi iklan jamu secara terus-menerus selama 24 jam. Siaran semacam ini terasa hambar, tanpa ruh, dan kehilangan esensi utama radio sebagai media yang hidup dan berinteraksi. Tidak jauh berbeda dari sekadar memutar playlist MP3 yang berulang-ulang.

Ironisnya, sebagian besar dari siaran tersebut diduga ilegal. Mereka beroperasi tanpa izin resmi, menggunakan frekuensi publik seenaknya, dan mengganggu keberadaan radio legal yang berusaha bertahan dengan konten berkualitas. Di sinilah seharusnya peran penting Balmon — Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio — diuji. Lembaga ini bertugas mengawasi penggunaan frekuensi, namun kenyataannya, radio-radio tak berizin terus menjamur tanpa penindakan tegas.

Balmon seperti menutup mata terhadap persoalan ini. Padahal, frekuensi adalah sumber daya terbatas yang dikelola negara. Ketika aksesnya dikuasai oleh pelaku ilegal, maka kerugian bukan hanya dirasakan oleh penyiaran resmi, tapi juga oleh masyarakat luas yang kehilangan pilihan siaran yang sehat, mendidik, dan menghibur.

Saya rindu masa ketika radio menjadi teman setia dalam perjalanan, menjadi pengantar tidur, atau penghibur kala hujan turun. Saya percaya radio belum mati — ia hanya perlu ruang yang adil untuk tumbuh kembali, bebas dari polusi iklan jamu dan siaran tanpa izin. Dan itu, seharusnya dimulai dari tindakan nyata pihak berwenang.
logoblog

Thanks for reading Radio Jamu Menguasai Frekuensi, Balmon ke Mana?

Newest
You are reading the newest post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saya senang mendengar pendapat Anda. Silakan tuliskan komentar, kritik, atau saran dengan bahasa yang sopan di bawah ini agar diskusi lebih nyaman.