Awal bulan ini, akhirnya saya mendapat kesempatan cuti dan kembali menikmati suasana pedesaan di kampung halaman. Hal ini sudah saya nantikan sejak awal November lalu, namun karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, rencana tersebut sempat tertunda. Untuk mendapatkan cuti saja, saya harus melewati berbagai rintangan dan kendala.
Perjalanan dimulai pada 2 Desember, ketika saya dalam perjalanan dari Kutai Barat menuju Balikpapan. Sekadar informasi, di wilayah ini tidak tersedia transportasi bus malam seperti di Pulau Jawa yang mudah dijumpai. Jika ingin ke Balikpapan, satu-satunya pilihan adalah menggunakan travel dengan waktu tempuh sekitar 12 jam perjalanan darat. Sebenarnya ada pilihan naik pesawat yang hanya memakan waktu 30 menit, namun harga tiketnya cukup mahal.
Malam telah larut saat mobil travel yang saya tumpangi terus melaju menembus gelapnya malam, menyusuri jalan poros Kutai Barat–Balikpapan yang diapit hutan lebat di sisi kanan dan kirinya. Sopir travel malam itu adalah Mas Aris, pria asal Blitar. Nampaknya ia sedikit kebingungan karena di tengah perjalanan terjadi kemacetan cukup panjang. Untungnya, para penumpang tidak memiliki jadwal penerbangan pagi sehingga suasana tetap tenang.
Berbeda dengan Jakarta yang macet karena padatnya kendaraan, kemacetan malam itu disebabkan oleh proyek pengecoran jalan. Lalu lintas diberlakukan sistem buka-tutup. Di titik tertentu, sebuah truk mogok di tengah jalan, memaksa kendaraan lain untuk melewati sisi jalan yang belum dibeton. Beruntung, besi tulang beton belum dipasang, sehingga masih bisa dilalui.
Setelah berhasil melewati hambatan pertama, perjalanan kembali lancar meskipun hujan terus mengguyur. Namun, sekitar satu jam kemudian, saya kembali terjebak kemacetan. Kali ini penyebabnya adalah pohon tumbang yang melintang menutup seluruh badan jalan. Tak ada pilihan selain menunggu proses pemotongan dan evakuasi pohon tersebut. Meski cukup lama, rasa kantuk yang berat membuat saya tertidur, sehingga waktu terasa cepat berlalu.
Saya tiba di Balikpapan pada Rabu pagi, 3 Desember. Meskipun perjalanan cukup panjang dan melelahkan, saya tidak terlalu merasa lelah. Dalam tiket pesawat yang saya pegang, tertera jadwal penerbangan ke Semarang esok paginya, 4 Desember. Pagi itu saya manfaatkan untuk beristirahat.
Saat bangun dari tidur, saya menerima pesan singkat yang memberitahukan bahwa penerbangan saya diundur menjadi sore hari. Rencana perjalanan yang sudah saya susun pun jadi berantakan. Beginilah jadinya bila maskapai bertindak sepihak, mengubah jadwal tanpa pemberitahuan lebih awal dan tanpa kompensasi. Ironisnya, bila penumpang yang ingin mengubah jadwal, pasti dikenakan biaya tambahan.
Hari Kamis pun tiba. Sejak pagi saya mulai berkemas dan memeriksa semua barang bawaan agar tidak ada yang tertinggal, meski jadwal penerbangan baru akan berlangsung pukul 4 sore. Karena sudah rindu kampung halaman, semangat untuk segera pulang membuat saya begitu antusias sejak pagi.
Tepat pukul dua siang, saya memesan taksi untuk menuju bandara. Tak lama setelah saya menelepon, taksi pun datang. Perjalanan ke bandara hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Setibanya di sana, loket maskapai ternyata belum dibuka, sehingga saya harus menunggu beberapa saat.
Setelah selesai proses check-in, saya bingung bagaimana menghabiskan waktu di ruang tunggu yang begitu lama. Tak ada teman untuk diajak keluar. Akhirnya saya memutuskan untuk tetap di dalam, menonton pesawat dan menikmati pemandangan laut dari jendela ruang tunggu—karena letak Bandara Balikpapan memang berada di tepi pantai.
Akhirnya, waktu yang saya nanti-nantikan tiba juga. Meskipun langit sore itu terlihat mendung, penerbangan tetap diberangkatkan karena kondisi cuaca masih aman. Saya pun berdoa semoga perjalanan ini berlangsung lancar hingga tiba di tujuan dengan selamat.
Penerbangan Balikpapan–Semarang ditempuh dalam waktu satu jam empat puluh menit. Saya tiba di Bandara Ahmad Yani, Semarang, pukul lima sore. Saya segera mencari angkutan menuju Terminal Penggaron agar tidak tertinggal bus menuju Blora. Namun, kemacetan di sejumlah titik membuat perjalanan terhambat. Ditambah lagi, angkutan yang saya tumpangi sering berhenti untuk menaikkan penumpang, membuat perjalanan semakin lambat.
Saya sampai di Terminal Penggaron sekitar pukul enam sore. Jika menggunakan sepeda motor, jaraknya sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit saja. Namun, saya tetap bersyukur karena masih mendapat bus terakhir menuju Blora. Tanpa pikir panjang, saya langsung naik, dan hanya berselang beberapa menit bus pun berangkat.
Namun, perjalanan kali ini cukup mengecewakan. Bus yang saya tumpangi melaju sangat lambat, seolah-olah seperti siput. Hujan lebat mulai turun, membuat seluruh kaca jendela ditutup. Sayangnya, karena bus sudah tua dan banyak bagian yang bocor, air hujan tetap merembes masuk.
Saat kondektur sedang menarik ongkos, saya bertanya apakah bus ini benar-benar menuju Blora atau hanya sampai Purwodadi. Jika sampai Blora, saya bisa tenang. Namun, kekhawatiran saya terbukti: bus hanya sampai Purwodadi karena jumlah penumpang malam itu sangat sedikit.
Perasaan campur aduk menghampiri. Kecewa, lelah, dan bingung. Saya turun di Terminal Purwodadi. Tidak ada lagi bus yang berangkat ke Blora malam itu. Jika tetap ingin naik bus, saya harus menunggu hingga esok pagi. Malam itu saya memutuskan berteduh di warung depan terminal dan makan lontong sekadar mengisi perut yang belum tersentuh nasi sejak pagi.
Saya bertemu beberapa orang dan sempat mengobrol. Dari mereka saya tahu bahwa bus terakhir menuju Blora berangkat pukul tujuh malam. Artinya, saya terlambat satu jam. Beberapa orang menawarkan jasa mobil sewaan, tapi harga yang ditawarkan tidak cocok. Saya lalu kembali masuk ke dalam terminal untuk mencari tukang ojek. Karena hujan deras dan udara dingin, sebagian besar menolak. Beruntung, ada satu tukang ojek yang bersedia setelah melalui negosiasi harga yang cukup alot.
Pukul setengah sepuluh malam, saya berangkat dari Terminal Purwodadi menuju rumah naik ojek, menembus derasnya hujan malam. Setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam, tepat pukul sebelas malam, saya akhirnya tiba di rumah. Alhamdulillah, perjalanan panjang dan melelahkan itu pun berakhir dengan selamat.
Perjalanan dimulai pada 2 Desember, ketika saya dalam perjalanan dari Kutai Barat menuju Balikpapan. Sekadar informasi, di wilayah ini tidak tersedia transportasi bus malam seperti di Pulau Jawa yang mudah dijumpai. Jika ingin ke Balikpapan, satu-satunya pilihan adalah menggunakan travel dengan waktu tempuh sekitar 12 jam perjalanan darat. Sebenarnya ada pilihan naik pesawat yang hanya memakan waktu 30 menit, namun harga tiketnya cukup mahal.
Malam telah larut saat mobil travel yang saya tumpangi terus melaju menembus gelapnya malam, menyusuri jalan poros Kutai Barat–Balikpapan yang diapit hutan lebat di sisi kanan dan kirinya. Sopir travel malam itu adalah Mas Aris, pria asal Blitar. Nampaknya ia sedikit kebingungan karena di tengah perjalanan terjadi kemacetan cukup panjang. Untungnya, para penumpang tidak memiliki jadwal penerbangan pagi sehingga suasana tetap tenang.
Berbeda dengan Jakarta yang macet karena padatnya kendaraan, kemacetan malam itu disebabkan oleh proyek pengecoran jalan. Lalu lintas diberlakukan sistem buka-tutup. Di titik tertentu, sebuah truk mogok di tengah jalan, memaksa kendaraan lain untuk melewati sisi jalan yang belum dibeton. Beruntung, besi tulang beton belum dipasang, sehingga masih bisa dilalui.
Setelah berhasil melewati hambatan pertama, perjalanan kembali lancar meskipun hujan terus mengguyur. Namun, sekitar satu jam kemudian, saya kembali terjebak kemacetan. Kali ini penyebabnya adalah pohon tumbang yang melintang menutup seluruh badan jalan. Tak ada pilihan selain menunggu proses pemotongan dan evakuasi pohon tersebut. Meski cukup lama, rasa kantuk yang berat membuat saya tertidur, sehingga waktu terasa cepat berlalu.
Saya tiba di Balikpapan pada Rabu pagi, 3 Desember. Meskipun perjalanan cukup panjang dan melelahkan, saya tidak terlalu merasa lelah. Dalam tiket pesawat yang saya pegang, tertera jadwal penerbangan ke Semarang esok paginya, 4 Desember. Pagi itu saya manfaatkan untuk beristirahat.
Saat bangun dari tidur, saya menerima pesan singkat yang memberitahukan bahwa penerbangan saya diundur menjadi sore hari. Rencana perjalanan yang sudah saya susun pun jadi berantakan. Beginilah jadinya bila maskapai bertindak sepihak, mengubah jadwal tanpa pemberitahuan lebih awal dan tanpa kompensasi. Ironisnya, bila penumpang yang ingin mengubah jadwal, pasti dikenakan biaya tambahan.
Hari Kamis pun tiba. Sejak pagi saya mulai berkemas dan memeriksa semua barang bawaan agar tidak ada yang tertinggal, meski jadwal penerbangan baru akan berlangsung pukul 4 sore. Karena sudah rindu kampung halaman, semangat untuk segera pulang membuat saya begitu antusias sejak pagi.
Tepat pukul dua siang, saya memesan taksi untuk menuju bandara. Tak lama setelah saya menelepon, taksi pun datang. Perjalanan ke bandara hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Setibanya di sana, loket maskapai ternyata belum dibuka, sehingga saya harus menunggu beberapa saat.
![]() |
Di sinilah saya menunggu sebelum loket dibuka |
Akhirnya, waktu yang saya nanti-nantikan tiba juga. Meskipun langit sore itu terlihat mendung, penerbangan tetap diberangkatkan karena kondisi cuaca masih aman. Saya pun berdoa semoga perjalanan ini berlangsung lancar hingga tiba di tujuan dengan selamat.
Penerbangan Balikpapan–Semarang ditempuh dalam waktu satu jam empat puluh menit. Saya tiba di Bandara Ahmad Yani, Semarang, pukul lima sore. Saya segera mencari angkutan menuju Terminal Penggaron agar tidak tertinggal bus menuju Blora. Namun, kemacetan di sejumlah titik membuat perjalanan terhambat. Ditambah lagi, angkutan yang saya tumpangi sering berhenti untuk menaikkan penumpang, membuat perjalanan semakin lambat.
Saya sampai di Terminal Penggaron sekitar pukul enam sore. Jika menggunakan sepeda motor, jaraknya sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit saja. Namun, saya tetap bersyukur karena masih mendapat bus terakhir menuju Blora. Tanpa pikir panjang, saya langsung naik, dan hanya berselang beberapa menit bus pun berangkat.
Namun, perjalanan kali ini cukup mengecewakan. Bus yang saya tumpangi melaju sangat lambat, seolah-olah seperti siput. Hujan lebat mulai turun, membuat seluruh kaca jendela ditutup. Sayangnya, karena bus sudah tua dan banyak bagian yang bocor, air hujan tetap merembes masuk.
Saat kondektur sedang menarik ongkos, saya bertanya apakah bus ini benar-benar menuju Blora atau hanya sampai Purwodadi. Jika sampai Blora, saya bisa tenang. Namun, kekhawatiran saya terbukti: bus hanya sampai Purwodadi karena jumlah penumpang malam itu sangat sedikit.
Perasaan campur aduk menghampiri. Kecewa, lelah, dan bingung. Saya turun di Terminal Purwodadi. Tidak ada lagi bus yang berangkat ke Blora malam itu. Jika tetap ingin naik bus, saya harus menunggu hingga esok pagi. Malam itu saya memutuskan berteduh di warung depan terminal dan makan lontong sekadar mengisi perut yang belum tersentuh nasi sejak pagi.
Saya bertemu beberapa orang dan sempat mengobrol. Dari mereka saya tahu bahwa bus terakhir menuju Blora berangkat pukul tujuh malam. Artinya, saya terlambat satu jam. Beberapa orang menawarkan jasa mobil sewaan, tapi harga yang ditawarkan tidak cocok. Saya lalu kembali masuk ke dalam terminal untuk mencari tukang ojek. Karena hujan deras dan udara dingin, sebagian besar menolak. Beruntung, ada satu tukang ojek yang bersedia setelah melalui negosiasi harga yang cukup alot.
Pukul setengah sepuluh malam, saya berangkat dari Terminal Purwodadi menuju rumah naik ojek, menembus derasnya hujan malam. Setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam, tepat pukul sebelas malam, saya akhirnya tiba di rumah. Alhamdulillah, perjalanan panjang dan melelahkan itu pun berakhir dengan selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saya senang mendengar pendapat Anda. Silakan tuliskan komentar, kritik, atau saran dengan bahasa yang sopan di bawah ini agar diskusi lebih nyaman.