Selasa, 03 Juli 2012

Pengamen Cilik, Masa Kecil Yang Terenggut

 Selasa, 03 Juli 2012
Petang itu, Selasa, 3 Juli 2012, langit Semarang mulai meredup setelah azan Maghrib berkumandang. Di pertigaan lampu merah Jalan Majapahit, saya tengah bersiap melanjutkan perjalanan usai salat ketika tiba-tiba seorang bocah kecil menghampiri saya. Wajahnya polos, matanya penuh harap.

“Mas, boleh nebeng sampai perempatan Tlogosari? Mau ngamen,” ujarnya pelan.

Saya sempat ragu. Jalanan ramai, dan bocah ini tidak mengenakan helm. Tapi hati saya tak sanggup menolak. Tujuan kami searah, dan bocah ini terlihat terlalu muda untuk berjalan sendiri di tengah lalu lintas kota. Saya pun mengisyaratkan agar dia naik ke boncengan motor.

Sambil mengendarai motor perlahan, saya mencoba membuka obrolan. Bocah itu mengaku berusia 12 tahun. Setiap sore hingga malam, ia mengamen untuk membantu ibunya yang bekerja sebagai buruh di sebuah sarang burung walet. Ayahnya, entah sudah meninggal atau pergi entah ke mana—saya tak sempat menggali lebih jauh.

“Sekarang nggak sekolah?” tanya saya.

Dia hanya menggeleng. Tidak banyak kata, tapi jawabannya cukup menggambarkan banyak hal. Masa kecilnya tak lagi seperti anak-anak lain yang bisa bermain, belajar, dan tertawa lepas. Bocah ini telah menyerahkan harinya pada senja dan malam, demi recehan yang baginya berarti besar.

Dari aktivitas mengamennya, dia bisa mengumpulkan sekitar sepuluh ribu rupiah setiap malam. Uang yang mungkin bagi kita tak seberapa, namun bagi bocah ini, itu hasil dari perjuangan. Dengan hanya bermodal alat sederhana—sepotong kayu kecil bertutup botol yang dilubangi—dia memainkan irama dan harapan.

Setibanya di perempatan Tlogosari, bocah itu turun. Ia mengucapkan terima kasih, lalu berjalan menjauh, menghilang di antara lalu lintas malam. Saya baru sadar, saya bahkan lupa menanyakan namanya.

Malam itu, hati saya masih tertinggal di jok motor. Bocah kecil tadi telah mengajarkan sesuatu—tentang ketabahan, tentang semangat hidup, tentang menerima kenyataan dengan kepala tegak. Di saat sebagian dari kita mengeluh tentang keadaan, dia justru melangkah dengan keyakinan, meski masa kecilnya telah tergadai.

logoblog

Thanks for reading Pengamen Cilik, Masa Kecil Yang Terenggut

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saya senang mendengar pendapat Anda. Silakan tuliskan komentar, kritik, atau saran dengan bahasa yang sopan di bawah ini agar diskusi lebih nyaman.