Perempatan itu memang kerap padat, apalagi di pagi hari. Untuk mengurangi kemacetan, kendaraan dari arah timur diarahkan satu jalur. Saat itu saya datang dari arah barat. Ketika lampu lalu lintas menyala merah, saya sempat ragu. Namun karena melihat rambu “belok kiri jalan terus”, saya pun mengikuti petunjuk itu. Rupanya, tepat setelah saya berbelok, saya diberhentikan polisi.
Polisi itu mencoba mengawali percakapan dengan basa-basi. Ia bahkan sempat menebak nama saya dan menyangka saya anak pondokan—mungkin karena jenggot saya. Entah sekadar bercanda atau curiga, saya sempat berpikir: jangan-jangan saya disangka teroris. 😂
Setelah diminta menunjukkan surat-surat, saya menyerahkan STNK dan SIM. Saya mencoba bertanya: “Pak, saya salah apa?” Namun surat-surat saya langsung dibawa ke pos, diserahkan ke petugas lain, dan saya diberi surat tilang. Setelah saya desak kembali, barulah dijelaskan bahwa saya melanggar marka jalan—belok sebelum lampu hijau menyala.
Sesuai prosedur, saya diarahkan untuk mengikuti sidang tilang di Pengadilan Semarang pada 11 Mei 2012. Awalnya tertulis 25 Mei, tapi saya minta dimajukan agar tak menunggu terlalu lama. Ternyata, 11 Mei juga ada sidang, hanya saja harus antri bersama ratusan pelanggar lainnya.
Perjalanan pulang jadi penuh renungan. Saya coba mengingat kembali—apa yang salah dari diri saya akhir-akhir ini? Mungkin bukan semata kesalahan di jalan raya, tapi bisa jadi teguran dari Yang Maha Kuasa atas kelalaian saya sebelumnya.
Malam sebelum ditilang, saya numpang internet di tempat teman dekat RS. Karyadi, Semarang. Seperti biasa, kalau sudah di depan laptop, saya bisa lupa waktu. Malam itu saya online hingga pukul 02.30 WIB. Tidur pun baru bisa setelah itu, padahal alarm sudah saya setel untuk bangun subuh.
Akibatnya, saya bangun sangat telat. Sholat subuh baru bisa saya lakukan pukul 05.54 WIB. Selesai sholat, saya tidur lagi karena mata masih berat. Konon, kata orang Jawa, kalau tidur habis subuh, rejekinya dipatok ayam. Kalimat ini terdengar kiasan, tapi kali ini seolah nyata. Uang yang seharusnya bisa saya simpan, harus dikeluarkan untuk membayar denda tilang. Mungkin ini bentuk peringatan. Bisa jadi karena amal yang kurang, atau shodaqoh yang belum cukup. Bisa juga karena saya terlalu sering menyepelekan waktu.
Saya pun teringat kejadian lain beberapa waktu lalu, saat sedang dalam perjalanan menuju kampus di tengah hujan lebat. Dengan mengenakan jas hujan model "batman", saya tetap nekat berangkat. Tanpa disadari, ujung jas hujan tersebut masuk ke roda belakang motor dan membuat saya terjatuh di Jalan Majapahit. Meski lukanya tidak parah, hanya lecet di bagian lutut dan tangan, tapi insiden itu menjadi alarm keras yang menyadarkan saya: jangan terlalu memaksakan diri, apalagi kalau sudah ada tanda-tanda untuk berhenti sejenak dan introspeksi.
Allah memang punya banyak cara untuk mengingatkan hamba-Nya. Lewat jalan raya, lewat polisi, bahkan lewat jas hujan. Semoga saya tak perlu diingatkan berkali-kali. Dan semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran, bukan hanya untuk saya sendiri, tapi juga untuk siapa pun yang membacanya.
Semarang, April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saya senang mendengar pendapat Anda. Silakan tuliskan komentar, kritik, atau saran dengan bahasa yang sopan di bawah ini agar diskusi lebih nyaman.